Liberalisasi dan Paradigma Konstruksi Fikih

Fikih adalah pengetahuan tentang hukum syari’at yang digali dari al-Qur’an dan al-Hadits tidak hanya berkisar dalam masalah ubudiyah saja, melainkan juga berbagai aspek kehidupan manusia.

Al-Qur’an sebagai poros utama sumber hukum Islam merupakan kitab suci yang didalamnya termuat dua bentuk tatanan hubungan universal, vertikal (hubungan manusia dengan Allah) dan horizontal (hubungan manusia dengan manusia dan alam semesta). Lebih dari 80 persen kandungan al-Qur’an secara teoritis membahas tentang permasalahan sosial yang mencakup perdata (hukum kekeluargaan), mu’amalah (berbagai transaksi dalam masyarakat), pidana (hukuman) dan berbagai tata aturan hubungan manusia dengan alam sekitar. Selebihnya al-Qur’an membahas yang berkenaan dengan akhirat, yaitu kepatuhan penuh (‘ubudiyah).

Rasulullah SAW. sebagai pembawa risalah Islam dan petunjuk Allah, sekaligus ucapan dan perbuatannya adalah sumber tradisi keagamaan terpenting setelah al-Qur’an. Nabi SAW. merupakan penjaga keseimbangan yang telah menjadi bagian dari kebenaran, sekaligus menjaga dari kecenderungan umat manusia untuk mengikuti hawa nafsunya, baik bersifat sensuil, sosial, ekonomis dan politis. Dengan aneka karakter yang dimilikinya, Allah telah menjadikan beliau sebagai protoype kesempurnaan manusia serta menjadi pembimbing ke arah kesempurnaan.

Klasifikasi hukum ke dalam hukum publik, hukum perdata, hukum dagang, dan lain sebagainya bersifat relatif, tergantung sifat dan sejarah sistem perundang-undangan tertentu. Karena itu, klasifikasi yang digunakan oleh hukum Romawi yang diadopsi oleh sistem perundang-undangan Eropa modern itu tidak pernah digunakan para ahli hukum Islam awal. Para ahli hukum syari’ah tidak membedakan antara hukum publik dan hukum perdata. Seperti dijelaskan oleh Joseph Schacht, klasifikasi yang dibuat ahli hukum muslim awal adalah antara “Hak Tuhan” dan “Hak Manusia” yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum publik dan hukum perdata.

Demikianlah, kenyataannya hukum publik secara tradisional merupakan aspek syari’ah yang paling kurang dikembangkan. Walaupun “kemacetan” ini dapat bertutur banyak kepada kita tentang prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang telah diformulasi oleh para ahli hukum perintis syari’ah dalam bidang ini, namun yang bisa diperoleh dalam hakikat hukum publik tersebut adalah kecenderungan-kecenderungan tak tuntas dan fragmentaris. Maka dari itu, seseorang dipaksa untuk meneliti mana prinsip-prinsip syari’ah yang tampak relevan dan mendiskusikannya dalam konteks wacana dan perhatian hukum publik seperti kita kenal sekarang.[1]

Latar Belakang Pembentukan Konstruksi Fikih

Sebagaimana telah dipaparkan dalam pendahuluan bahwa kajian al-Qur’an sangat kompleks, hingga permasalahan dalam rumah tangga pun dibahas didalamnya. Hal inilah yang selanjutnya berimplikasi pada luasnya kajian fikih sebagai kajian hukum Islam.

Al-Qur’an diturunkan hanyalah untuk memperbaiki hal ihwal manusia. Oleh karena itu, maka datanglah perintah-perintah dan larangan-larangan:

31

Nabi itu menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” (QS. al-A’raf:157).[2]

Selanjutnya dalam perumusan hukum Islam, al-Qur’an memelihara 3 dasar[3]:

1. Tidak menyulitkan

2. Menyedikitkan beban

3. Berangsur-angsur dalam merumuskan hukum.

Dengan memelihara 3 dasar di atas, hukum Islam dalam perumusannya juga dipengaruhi oleh faktor situasi dan kondisi dimana Islam itu diturunkan. Sebagaimana dilukiskan oleh Abdullahi Ahmed an-Na’im di bawah ini.

Nabi Muhammad Saw. dilahirkan di Makah, suatu kota perdagangan di bagian Barat Arabia, pada tahun 570 M. Setelah menjalani karir pendek sebagai pedagang, termasuk kerja sama dengan istri pertamanya, Khadijah, Nabi dikabarkan melakukan ibadah dan berkhalwat di dalam dan di sekitar Makah. Pada tahun 610 M. Nabi diyakini mulai menerima wahyu, Al-Qur’an. Mulai saat itu pula ia menyebarkan misi keagamaan dan reformasi sosial. Reaksi masyarakat Makah pada umumnya, khususnya suku Quraisy yang juga merupakan suku Nabi sendiri, menolak dan menentang secara ekstrim. Tetapi, Nabi berteguh dan berjuang untuk meraih sejumlah pengikut dalam masa lebih dan 13 tahun selama misinya di Makah. Karena meningkatnya kekejaman dan siksaan terhadap diri dan pengikut-pengikutnya, Nabi mencari lingkungan yang lebih bersedia menerima misinya itu yang akhirnya tertambat di Madinah, suatu komunitas pertanian di bagian barat Arabia. Pada tahun 622 M., Nabi dan para pengikut setianya, yang kemudian disebut Muhajirin (kaum imigran), meninggalkan Makah, pindah dan menetap di Madinah. Di sini mereka disambut meriah oleh golongan Anshar (kaum penolong). Gerakan yang menentukan ini kemudian terkenal dengan Hijrah yang sangat dikenang, dan kemudian dijadikan permulaan tahun baru Islam.

Hijrah menandai tidak saja perubahan dramatik dalam pertumbuhan jumlah umat Islam dan pembentukan masyarakat politik atau negara Islam pertama di Madinah, tetapi juga peralihan yang signifikan dalam materi pokok dan isi misi nabi. Secara umum disepakati bahwa periode Makah, Al-Qur’an dan sunnah lebih banyak berisi tentang ajaran agama dan moral, tidak menyatakan norma-norma politik dan hukum secara khusus, yang baru dikembangkan pada periode Madinah. Penjelasan tentang perubahan ini adalah karena pada periode Madinah ini Al-Qur’an dan sunnah harus memberikan respons terhadap kebutuhan sosial politik yang konkret dalam suatu komunitas yang dibangun. Dengan kemerdekaan untuk mengembangkan institusi-institusi yang mereka miliki dan menerapkan norma-norma agama baru mereka, memerlukan ajaran dan tuntunan yang lebih rinci.

Signifikansi perubahan isi pesan tersebut (sebagaimana dibedakan dengan materi pokoknya), belum begitu jelas dan tidak mendapatkan perhatian yang memadai di masa lalu. Tesis saya, perubahan itu tidak hanya dari umum ke khusus, dari masalah agama dan moral ke masalah politik dan hukum, melainkan juga perubahan dalam makna dan implikasi Al-Qur’an dan sunnah. Saya yakin bahwa norma-norma politik dan hukum spesifik dan Al-Qur’an dan sunnah periode Madinah tidak selalu mencerminkan makna dan implikasi pesan yang pasti sebagaimana yang diwahyukan di Makah. Suatu penyesuaian harus dibuat, dan telah berhasil dilakukan, untuk mendukung masyarakat politik dalam konteks sejarah dan geografis tertentu.[4] Dengan demikian, perumusan suatu hukum fikih tidak hanya didasarkan pada nash-nash al-Qur’an dan as-sunnah saja, melainkan ra’yu para pelaku sejarah pada saat itu pun turut andil dalam perumusannya. Ini merupakan suatu upaya penyesuaian hasil hukum yang sinkron dengan situasi dan keadaan di masing-masing zaman.

Dalam literatur tarikh tasyri’ (sejarah pembentukan dan penerapan syari’at), memang sangat dipengaruhi oleh kondisi daerah dimana syari’at tersebut dirumus-kan. Hal ini mengakibatkan produk hukum Islam yang sebetulnya bersumber dari nash yang sama yaitu al-Qur’an dan sunnah, ternyata menghasilkan rumusan yang bervariasi ketika konteks persoalan yang timbul berbeda. Selain itu, perbedaan cara pandang dan pendekatan yang dipakai oleh para ulama dalam menganalisa realitas sosial, juga berpengaruh pada produk hukum yang dihasilkan. Sehingga, tidak jarang dalam waktu yang bersamaan dan kasus yang sama, para ulama menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Ditambah lagi dengan berbagai bentuk tekanan politik yang terjadi saat itu juga sangat berpengaruh terhadap produk hukum yang dihasilkan.

Dalam tulisannya, Jalaluddin Rakhmat[5] menggambarkan bagaimana konstruksi fikih terbentuk melalui perjalanan sejarah politik Islam. Begitu besarnya peranan para pelaku sejarah ―terutama para penguasa politik yang ada di masing-masing masa pemerintahan― secara aktif turut andil dalam memutuskan hukum-hukum furu’iyah.

Pada masa Nabi Muhammad SAW. setiap permasalahan yang muncul yang terjadi pada saat itu akan mendapat jawaban “langsung” dari Allah yang diberikan kepada beliau berupa wahyu al-Qur’an. Wahyu diturunkan kepada Nabi SAW. berkenaan dengan konteks lingkungan saat itu yang kemudian dikenal dengan istilah Asbabun Nuzul. Demikian halnya dengan semua perilaku (sunnah) Nabi SAW. baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun kesepakatan oleh para sahabat dijadikan sumber jawaban kedua setelah al-Qur’an atas problematika aktual yang terjadi saat itu. Sehingga pada masa mereka telah banyak dari kalangan sahabat yang hapal hadits.

Setelah Nabi SAW. wafat, kursi kepemimpinan umat berada di tangan para sahabat. Dari sinilah awal mula perpecahan dan pergolakan masyarakat muslim muncul karena diakibatkan ketidakpuasan dari beberapa kalangan tentang khalifah (pengganti) Nabi SAW.[6]

Pemilihan khalifah pasca-nabi sebagai pemimpin agama dan politik melahirkan krisis serius pertama dalam Islam. Sisa krisis itu masih terasa hingga sekarang. Posisi khalifah tidak saja diperebutkan dua kelompok besar umat Islam, yakni muhajirin dan anshar, tetapi juga oleh para tokoh terkemuka di kalangan muhajirin sendiri. Kelompok terakhir ini berhasil memenangkan persaingan yang lebih luas. Abu Bakar (mukmin pertama dan kalangan dewasa dan sahabat dekat nabi sejak lama) terpilih menjadi khalifah pertama. Pendukung Ali (sepupu dan menantu nabi) yang kalah pada persaingan pertama dan pada persaingan berikutnya untuk menduduki posisi khalifah, akhirnya berkembang menjadi sekte tersendiri dalam Islam, Syi’ah.

Abu Bakar digantikan oleh dua pemimpin muhajirin lainnya Umar dan Utsman, sebelum akhirnya menjadi khalifah. Namun pemerintahan Ali berumur pendek, penuh pergolakan dan berakhir dengan pembunuhannya, serta berdirinya dinasti Umayyah pada tahun 661 M. Pemerintahan Umayyah berlangsung hingga tahun 750 M., saat diruntuhkan dan digantikan oleh dinasti Abbasiyah, yang berlangsung hingga beberapa abad kemudian. Uraian di atas untuk menunjukkan tahap-tahap penting sejarah umat Islam awal yang berdampak pada sumber-sumber dan perkembangan syari’ah.[7]

Fikih Sahabat

Pasca wafatnya Rasulullah SAW. muncul ikhtilaf (perbedaan) di kalangan sahabat dalam penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW., sehingga muncul dua pandangan.

Kelompok pertama, memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur’an setelah Rasulullah wafat dipegang Ahlul Bait. Hanya merekalah, menurut nash dari Rasul, yang harus dirujuk untuk menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok kedua memandang tidak ada orang tertentu yang ditunjuk rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah Ilahi. Al-Qur’an dan as-sunnah adalah sumber untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di masyarakat. Kelompok ini — kelak disebut Ahlussunnah — ternyata tidak mudah mengambil hukum dari nash, karena banyak hal tak terjawab oleh nash, mereka akhirnya menggunakan metode-metode ijtihad seperti qiyas dan istihsan.[8]

Dari sini muncul beberapa karakteristik fikih pada masa para sahabat sebagai berikut: a) merujuk pada nash al-Qur’an dan al-sunnah; b) menggunakan metode-metode ijtihad seperti qiyas, bila nash tidak ada atau tidak diketahui; dan c) mencapai kesepakatan lewat proses perkembangan opini publik yang alamiah.[9] Inilah benih-benih awal munculnya berbagai bentuk ikhtilaf di kalangan ahli hukum muslim berikutnya, yaitu periode tabi’in.

Fikih Tabi’in

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa benih-benih ikhtilaf sudah muncul di masa para sahabat. Selanjutnya pada masa tabi’in inilah benih-benih ini tumbuh membesar dan semakin mengakar di masing-masing tempatnya, yang selanjutnya berimplikasi pula pada pola pemikiran tabi’in saat itu. Hal ini logis, karena para tabi’in banyak mereferensikan diri pada para sahabat yang notebene hidup satu masa dengan Nabi SAW yang automatically mereka diyakini memahami benar tentang aplikasi hukum Islam yang terjadi saat itu. Sedangkan permasalahan aktual yang terjadi pada masa tabi’in tidak semuanya dapat dijawab melalui nash-nash baik al-Qur’an maupun as-sunnah. Sehingga karakteristik fikih para tabi’in pun tidak jauh berbeda dengan fikih para sahabat[10].

Nurcholish Majdid menyebutkan ada dua kubu orientasi fikih, kubu Hijaz dan kubu Irak[11].

Di bawah pimpinan Khalifah Mu’awiyah (yang masa kekhalifahannya disebut Ibn Taymiyah sebagai permulaan masa “kerajaan dengan rahmat” –al-mulk bi al-rahmah) kaum muslim dapat dikatakan kembali pada keadaan seperti zaman Abu Bakar dan ‘Umar (zaman al-Syaikhani, “Dua Tokoh) yang amat dirindukan banyak orang, termasuk para “aktifis militan” yang membunuh ‘Utsman (dan yang kemudian [ikut] mensponsori pengangkatan ‘Ali namun akhirnya berpisah dan menjadi Khawarij). Apa pun kualitas kekhalifahan Mu’awiyah itu, namun dalam hal masalah penegakan hukum mereka tetap sedapat mungkin berpegang dan meneruskan tradisi para Khalifah di Madinah dahulu, khususnya tradisi ‘Umar. Karena itu ada semacam “koalisi” antara Damaskus dan Madinah (tapi suatu koalisi yang tak pernah sepenuh hati, akibat masalah keabsahan kekuasaan Bani Umayyah itu). Tapi “koalisi”itu mempunyai akibat cukup penting dalam bidang fiqh, yaitu tumbuhnya orientasi kehukuman (Islam) kepada Hadits atau Tradisi (dengan “T” besar) yang berpusat di Madinah dan Makkah serta mendapat dukungan langsung atau tak langsung dari rezim Damaskus.

Sementara banyak tokoh Madinah sendiri tetap mempertanyakan keabsahan rezim Umayyah itu, Irak dengan kota-kota Kufah dan Basrah adalah kawasan yang selalu potensial menentang Damaskus secara efektif. Ini kemudian berdampak tumbuhnya dua orientasi dengan perbedaan yang cukup penting: Hijaz (Makkah-Madinah) dengan orientasi haditsnya, dan Irak (Kufah-Basrah) dengan orientasi penalaran pribadi (ra’yu)-nya.

Di samping itu hal yang mendorong besarnya peran ro’yu di Kufah-Basrah adalah saat itu di Irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hijaz lebih bersifat homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas’ud mengikuti pola yang telah di tempuh Umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Sehingga pada periode ini timbul madrasah al-hadits di Hijaz dan madrasah al-ra’yu di Irak.[12]

Fiqh Madzhab

Dalam sejarah tasyri’ juga dijelaskan bagaimana Ahlul Hadits dan Ahlul Ro’yi berkembang dalam dua wilayah geografis yang berbeda. Ulama Ahlul Ro’yi dengan pelopor utamanya Imam Abu Hanifah tumbuh di kota Kuffah dan Baghdad yang metropolitan, sehingga harus menghadapi secara rasional sejumlah persoalan baru yang muncul akibat kompleksitas kehidupan kota. Ditambah dengan kenyataan bahwa secara teritorial Baghdad terletak jauh dari pusat kota hadits, Madinah, sehingga Abu Hanifah dalam menulis kitab-kitab fiqhnya merasa perlu lebih banyak melandaskan diri pada ro’yu daripada hadits yang belum jelas validitasnya, terutama dalam hal yang tidak ada nash.

Berbeda dengan kecenderungan Ahlul Ro’yi yang rasional, Ahlul Hadits dengan Imam Malik bin Anas sebagai pelopornya hidup di Madinah dengan tingkat kompleksitas kehidupan masyarakat jauh lebih sederhana dibanding dengan Baghdad, cenderung untuk banyak menggunakan hadits. Disamping banyak hadits yang beredar di Madinah, juga karena persoalan-persoalan yang muncul cukup diselesaikan dengan hadits yang ada tanpa memerlukan keterlibatan akal budi para ulama.

Diantara imam-imam madzhab yang terkenal adalah Imam Ja’far ibn Muhammad al-Shidiq, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanbali. Sedangkan imam-imam madzhab yang hilang karena disebabkan tidak adanya dukungan politik saat itu antara lain; Abu Abdillah Sufyan bin Masruq al-Tsauri (madzhab al-Tsauri), Abu Muhammad Sufyan bin ‘Uyainah (madzhab ‘Uyainah), Abdurrahaman bin Amr al-Auza’i (madzhab al-Auza’i), Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid ibn Ghalib al-Thabari (madzhab at-Thobari), Abu Sulaiman Dawud ibn ‘Ali (madzhab adz-Dzahiri).[13]

Pada masa inilah, mulai bermunculan fanatisme-fanatisme madzhab yang kemudian berlanjut pada masa stagnasi pemikiran fikih.[14]

Fikih Kaum Pembaru: Madzhab Skripturalisme dan Madzhab Liberalisme

Ushuliyah dan Fiqhiyah sebagai kaidah hukum Islam yang disepakati oleh para ulama, muncul sebagai bentuk proses generalisasi dalam perumusan hukum Islam. Seperti konteks tempat dan zaman yang berbeda, yang kemudian melahirkan produk hukum Islam yang beragam, modifikatif dan tidak sektarian.

Penerapan hukum secara universal dengan menganalogikan satu kasus dengan kasus hukum yang lain, telah berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama. Akibatnya, kalangan ulama dituntut untuk selalu melakukan kajian deduktif dengan terus menerus mencari bentuk terapan doktrin dalam komunitasnya masing-masing. Selain itu, terdapat kebiasaan umat Islam untuk melakukan induksi terhadap setiap perubahan yang terjadi di masyarakat, seperti tidak hanya pada persoalan ubudiyah (ritual), akan tetapi juga pada bidang-bidang lain. Semua itu terkait dengan tuntutan untuk mendapatkan kepastian status hukum. Berbagai literatur fikih (turats) ternyata tidak selalu memuat kepastian hukum terhadap problematika masyarakat yang muncul belakangan, apalagi kasus-kasus tersebut bersifat lokal dengan serangkaian ciri khas dan kompleksitasnya. Untuk mengatasi keterbatasan kitab-kitab fikih tersebut, muncul upaya penafsiran terhadap produk hukum yang sudah ada, yaitu dengan membuat berbagai analogi (qiyas) dan lain sebagainya. Tidaklah mengherankan kalau kemudian muncul berbagai perdebatan dan silang pendapat di antara para ulama dalam memandang dan memutus suatu perkara.

Taghayyurul ahkam bitaghayyuril amkan wal azman. Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan pola pikir manusia dari waktu ke waktu, problematika yang timbul di masyarakat Islam pun semakin bertambah kompleks. Sudah sewajarnya jika fikih terus berkembang, lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik, sosio-budaya serta pola pikir yang melatarbelakangi hasil penggalian hukum sangat mungkin mengalami perubahan. Para peletak dasar fikih dalam meracik format hukum Islam meskipun digali langsung dari teks asal (al-Qur’an dan hadits), namun selalu tidak lepas dari pertimbangan “konteks sosial” keduanya baik asbabun nuzul maupun asbabul wurud.

Fikih sebagai produk ijtihadi, lahir dari intelektualitas manusia dalam fase dan penggalan sejarah tertentu itu tidak bisa diimpor begitu saja ke ruang dan waktu yang berlainan. Hal ini juga berarti bahwa dalam menghukumi persoalan-persoalan kontemporer tidak selalu dapat diperlukan hukum yang telah berjalan pada masa lampau. Sebagaimana telah diketahui tentang bagaimana Imam Syafi’i memiliki dua pendapat: qaul qadim dan qaul jadid. Data historis menunjukkan telah ada puluhan bahkan mungkin juga ratusan pendapat lama dirubah dan digantikan dengan pendapat baru oleh Imam Syafi’i yang dilandaskan pada seting sosial budaya Mesir.

Pada era modernisasi problematika dalam masyarakat yang muncul tidak hanya berkisar dalam kajian sholat, zakat, puasa, dan haji saja. Akan tetapi juga meliputi politik, ekonomi, sosial-budaya. Suatu contoh fikih siyasah bukan sebatas membahas seputar kekuasaan, tetapi lebih kepada kebijakan-kebijakan yang dapat menimbulkan kemaslahatan umum. Rasulullah SAW. pernah bersabda: “Antum a’lamu bi umuri dunyakum”. Ini berarti pada wilayah non ibadah semisal politik, umat diberi kebebasan penuh untuk merumuskan dasar-dasar politik yang ideal dan egaliter, sehingga bisa diterima dalam ruang publik. Rumusan itu juga harus mengacu pada prinsip Maqoshid Syar’iyah yang sekurang-kurangnya meliputi lima hal, yaitu (1) Hifdzun Nafs (perlindungan hidup dan keselamatan jiwa raga), (2) Hifdzud Din (perlindungan hak meyakini dan menjalankan agama), (3) Hifdzul ‘Aql (perlindungan keselamatan, perkembangan dan pendayagunaan akal-budi), (4) Hifdzul Maal (perlindungan hak atas harta benda atau kekayaan yang diperoleh secara sah), dan (5) Hifdzun Nasl (perlindungan hak keturunan).

Namun, pertanyaan yang muncul saat ini adalah siapakah yang berhak untuk melakukan reformasi hukum Islam? Mengingat perubahan tempat dan waktu akan berimplikasi pada keabsahan hukum yang dapat digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini.[15]

Dari sinilah kemudian muncul dua kalangan madzhab yaitu madzhab Skripturalisme dan madzhab Liberalisme. Kedua bentuk madzhab ini berusaha mendobrak stagnasi pemikiran Islam dengan mengusung fikih baru yang dapat menjawab masalah-masalah aktual akibat perubahan masyarakat.

Pokok pemikiran madzhab Skripturalisme adalah mereka melihat masa salaf sebagai model dan kembali kepada al-Qur’an dan hadits sebagai satu-satunya jalan untuk memecahkan segala persoalan Islam[16]. Sedangkan madzhab Liberalisme sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat[17] dari pendapat Arkoun adalah sebagai berikut:

Di samping aliran ini ada aliran yang sangat menekankan rasio (akal). Yaitu liberalisme. Aliran ini tak lagi terikat dengan bunyi teks, tapi berusaha menangkap menurutnya, makna hakiki dari teks. Makna yang dianggap sebagai ruh ajaran Islam, tema umum Islam, maqashid syar’iyah dan sebagainya. Skripturalisme dan liberalisme keduanya berusaha mendobrak kebekuan pemikiran Islam; sekaligus merupakan fikih baru yang dapat menjawab masalah-masalah baru akibat perubahan masyarakat. Berbagai upaya rekonstruksi fikih di dunia Islam sekarang ini berangkat dari kedua aliran tersebut.

Dengan demikian pada dasarnya ada kesamaan antara madzhab-madzhab klasik (salaf) dengan madzhab-madzhab masa kini (kholaf). Madzhab skripturalisme yang cenderung mengajak mengkaji ulang fikih dengan menitikberatkan pada nash-nash al-Qur’an dan as-sunnah saja, cenderung sama dengan kalangan Ahlul Hadits. Sedangkan madzhab liberalisme yang cenderung mengedepankan rasio (ra’yu) dalam mengkaji ulang fikih, cenderung sama dengan kalangan Ahlul Ro’yi.

Sedangkan pokok pemikiran madzhab liberalisme sebagaimana pendapat Prof. Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat, adalah sebagai berikut; 1) kita harus meninggalkan pemahaman harfiah terhadap al-Qur’an dan menggantinya dengan pemahaman berdasarkan semangat dan jiwa al-Qur’an, 2) kita harus mengambil sunnah Rasul dari segi jiwanya untuk tasyri’ al-ahkam dan memberikan keleluasaan sepenuhnya untuk mengembangkan teknik dan pelaksanaan masalah-masalah keduniawian, 3) kita harus mengganti pendekatan ta’abbudi terhadap nash-nash dengan pendekatan ta’aqquli, 4) kita harus melepaskan diri dari masalikul ‘illah gaya lama dan mengembangkan perumusan ‘illat hukum yang baru, 5) kita harus menggeser perhatian dari masalah pidana yang ditetapkan oleh nash kepada tujuan pemidanaan, 6) kita harus mendukung hak pemerintah untuk mentakhsish umumnya nash dan membatasi muthlaqnya.

Dari paparan singkat di atas, dapat dipahami bahwa terdapat dua kelompok besar pemikiran fikih, yaitu kelompok eksklusif dan kelompok inklusif. Paradigma kalangan eksklusif menilai bahwa apa yang menjadi tuntunan al-Qur’an dan al-hadits sudah cukup dan benar-benar bisa digunakan sebagai sumber rujukan hukum apapun dan dimanapun. Sehingga kalangan ini mencoba untuk mengembalikan kultur lama dari kalangan ahl al-hadits, yakni memurnikan apa yang telah diwahyukan dalam al-Qur’an dan al-hadits dalam segala aspek kehidupan masyarakat.

Di sisi lain, kalangan inklusif merasa tidak semua aspek kemasyarakatan harus diatur dengan tata aturan al-Qur’an dan al-hadits. Mereka beralasan bahwa tidak semua permasalahan yang terjadi di masyarakat solusinya bisa didapatkan dari dua sumber hukum Islam ini. Sehingga perlu adanya penyesuaian-penyesuaian dalam rumusan hukum yang berkenaan dengan suatu kelompok masyarakat. Karena zaman semakin maju, dan kemajuan juga akan menimbulkan problem-problem baru yang belum pernah terjadi pada masa lalu.


[1]Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekontruksi Syari’ah (terj. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International Law), cet.IV, LKiS, Yogyakarta, 2004, hal.8.

[2]Khudori Bi’, Tarjamah Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Darul Ikhya, Semarang, 1980, hal.31.

[3]Ibid.

[4]Abdullahi Ahmed an-Na’im, op.cit, hal.21-23.

[5]Lihat tulisan Jalaluddin Rakhmat “Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh: Dari Fiqh al-Khulafa’ al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme” dalam “Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah”, cet.2, Paramadina, Jakarta, 1995, hal.251.

[6]Lihat Philip K. Hitti dalam “History of The Arabs”, cet.1, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2005, hal.222-254. Dalam buku itu digambarkan bagaimana pergolakan para sahabat dalam perebutan kursi kepemimpinan, yang mana hal ini jelas akan berimplikasi terhadap pengambilan keputusan dari masing-masing kepala pemerintahan yang berkuasa saat itu. Bandingkan juga dengan tulisan Jalaluddin Rakhmat “Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh: Dari Fiqh al-Khulafa’ al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme” dalam “Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah”, tentang bagaimana para sahabat dalam pengambilan keputusan terkait dengan hukum fikih yang dilandasi oleh faktor-faktor politik.

[7]Abdullahi Ahmed an-Na’im, op.cit, hal.21-23.

[8]Jalaluddin Rakhmat, op.cit, hal.254.

[9]Jalaluddin Rakhmat, op.cit, hal.258.

[10]Lihat Jalaluddin Rakhmat “Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh: Dari Fiqh al-Khulafa’ al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme” dalam “Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah”,hal.261-266.

[11]Nurcholish Madjid “Sejarah Awal Penyusunan dan Pembakuan Hukum Islam” dalam “Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah”, cet.2, Paramadina, Jakarta, 1995, hal.237.

[12]http://www.ikatan mahasiswa darul ulum.com, didownload pada Sabtu, 9 Pebruari 2008, pukul 10.25 WIB.

[13]Jalaluddin Rakhmat, op.cit., hal.272.

[14]Lihat Jalaluddin Rakhmat, op.cit., hal.276-284. Bandingkan juga dengan Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekontruksi Syari’ah (terj. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International Law), cet.IV, LKiS, Yogyakarta, 2004, hal.26-32.

[15]Pengantar Abdullahi Ahmed an-Na’im dalam The Second Message of Islam: Syari’ah Demokratik (terj. The Second Message of Islam), cet.I, Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, Surabaya, 1996, hal.25. Lebih lanjut mengenai latarbelakang munculnya madzhab skripturalisme dan madzhab liberalisme bisa dilihat pada Jalaluddin Rakhmat, op.cit, hal.284-290.

[16]Jalaluddin Rakhmat, op.cit, hal.288.

[17]Jalaluddin Rakhmat, op.cit, hal.286.

About HSR

biasa aja
This entry was posted in Keislaman and tagged . Bookmark the permalink.

Leave a comment