Wajah Islam Dalam Diri Imam al-Ghozali

Wajah Islam Dalam Diri Imam al-Ghozali

Imam al-Ghazali, mendengar namanya saja hampir semua orang tahu siapa dia. Dia adalah pencetus ide-ide baru, Sang Pembaharu Islam, Hujjatul Islam, seorang sufi yang banyak disegani oleh ulama-ulama di zamannya karena kedalaman ilmu yang dimilikinya dan paling banyak dianut pemikirannya oleh pemikir-pemikir baru pada masa berikutnya.

Berikut ini sedikit akan dipaparkan tentang siapa Imam al-Ghazali sebenarnya, dan bagaimana perjalanan hidup yang dilaluinya, serta pemikiran-pemikiran dan hasil karyanya.

Siapakah Imam al-Ghozali?

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid al-Ghazali. Dilahirkan pada tahun 450 H/1059 M di Ghazalah suatu kota kecil yang terletak di dekat Thus di Khurasan (Iran). Sebutan al-Ghazali diambil dari kata “Ghazalah” yakni nama kampung kelahiran al-Ghazali. Sebutan tersebut kadang-kadang diucapkan dengan “al-Ghazzali” (dengan dua z) istilah ini berasal dari kata “Ghazzal” artinya tukang pemintal benang sebab pekerjaan ayah al-Ghazali adalah membuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar.

Perjalanan Hidup al-Ghazali

Ayah al-Ghozali meninggal saat dia dan saudaranya masih kecil. Keadaan inilah yang mempertemukan dia dengan ulama-ulama ternama di zamannya.

Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad ar-Rasikani, kemudian belajar pada Imam Abi Nasar al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negerinya, dia pun berangkat ke Nishabur dan belajar pada Imam al-Haromain (al-Juwayni). Di sinilah dia mulai terlihat tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa. Dia dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali adalah “lautan tak bertepi”.

Setelah Imam al-Haromain wafat, al-Ghazali pergi ke al-Ashar untuk berkunjung kepada Menteri Nizam al-Muluk dan pemerintahan dinasti Saljuk. Dia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama dan para ilmuwan. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al-Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H./1091 M. sebagai guru besar (profesor) pada Perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi selama empat tahun. Dia memberikan kuliah dalam bidang ilmu hukum dan teologi dengan memperoleh sukses yang besar. Dia pun mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh. Situasi politik yang rawan saat itu, dan kematian Nidham al-Mulk akibat tindak kekerasan seorang pembunuh Isma’iliyah pada tahun 485 H./1092 M. disusul kemudian oleh kematian Sultan Malikshah, tampaknya telah menambah beban kekecewaannya yang berangsung-angsur terhadap kegiatan mengajarnya. Prakarsanya ke dalam praktek jalan sufi, antara 486 H./1093 H. dan 487 H./1094 M., tidak pelak lagi menambah keyakinannya bahwa suatu karier akan menjadi sia-sia apabila tidak diabadikan kepada pencarian kebenaran yang tanpa pamrih atau pengabdian kepada Tuhan. Karena itu, dia mulai menjauhkan diri dari keramaian.

Selama waktu itu al-Ghazali tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan dan manfaat pekerjaannya, sehingga akhimya ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati dengan obat lahiriyah (fisioterapi).

Setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 488 H. al-Ghazali pergi ke Syria, Palestina untuk mengunjungi Baitul Maqdis, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Damaskus dan menetap di sana untuk beberapa lama. Di sini dia beribadat di masjid al-Umawi pada suatu sudut hingga terkenal sampai sekarang dengan nama al-Ghazaliyah. Pada saat itulah ia sempat mengarang sebuah kitab yang sampai kini kitab tersebut sangat terkenal yaitu Ihya ‘Ulum ad-Din. Al-Ghazali tinggal di Damaskus kurang lebih selama 10 tahun, di mana ia hidup dengan sangat sederhana, berpakaian seadanya, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid-masjid, memperbanyak ibadah dan melaksanakan perbuatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. dan berkhalwat (menyendiri).

Setelah penulisan Ihya ‘Ulum ad-Din selesai, ia kembali ke Baghdad, kemudian mengadakan majelis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya itu. Tetapi karena ada desakan dari penguasa yaitu Muhammad penguasa waktu itu, al-Ghazali diminta kembali ke Nishabur dan mengajar di perguruan Nizamiyah. Pekerjaan ini hanya berlangsung selama dua tahun, untuk akhirnya dia kembali ke kampung asalnya, Thus. Di kampungnya al-Ghazali mendirikan sebuah sekolah yang berada di samping rumahnya, yaitu tempat belajar bagi para fuqaha dan mutashawwifin (orang-orang yang menjalani hidup sufi). Ia membagi waktunya guna membaca al-Quran, mengadakan pertemuan dengan para fuqaha dan ahli tasawuf, mengajar dan membimbing orang-orang ingin bertaqarrub kepada Allah. Di kota Thus inilah dia akhirnya meninggal pada hari Senin tanggal 14 Jumadil akhir 505 H./1111 M.

Sesaat sebelum meninggal dia sempat mengucapkan kata-kata yang juga diucapkan oleh Francis Bacon, filosof Inggris, yaitu: “Kuletakkan arwahku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku di lipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir umat manusia di masa yang akan datang“.

Banyak para filosof mengakui bahwa al-Ghazali memiliki suatu keganjilan, yaitu dalam proses penyelidikan dan ketajaman otaknya. Banyak ilmu yang dipelajarinya, akan tetap dalam perantauannya mencari ilmu, dia tidak lupa untuk terjun ke dalam renungan tasawuf, merenung dan memikirkan rahasia alam dan rahasia hidup. Dari renungan dan pemikirannya itu dia mendapatkan pegangan utama dalam hidup beragama, yaitu hidup dengan ilmu dan amal. Buah penanya yang mengagumkan pada zamannya menyebabkan al-Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam (Pembela Islam) dan Zainuddin (Hiasan Agama).

Berbagai Pandangan Imam al-Ghozali dan Karya-karyanya

Karangan al-Ghazali berjumlah kurang lebih 100 buah. Karangannya meliputi berbagai macam lapangan ilmu pengetahuan, ilmu kalam (theologi Islam), fiqh (hukum Islam), tasawuf dan autobiografi. Sebagian besar dari karangannya adalah berbahasa Arab, dan sebagian lagi berbahasa Persi.

Di antara karangan itu, ada beberapa kitab yang kurang mendapat perhatian di kalangan ulama Indonesia, namun sangat dikenal oleh negeri barat, buku yang menyebabkan polemik di antara ahli filsafat, yaitu Maqashid al-Falasifah (Tujuan Para Ahli Filsafat) dan Tahafut al-Falasifah (Keberantakan Para Filosof).

Kitabnya yang terkenal yaitu Ihya ‘Ulum ad-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), yang dikarang olehnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerusalem, Hijaz dan Yus, yang berisi paduan indah antara fiqh, tasawuf dan filsafat, bukan saja terkenal di kalangan umat Islam, tetapi juga di dunia barat dan luar Islam.

Bukunya yang lain yaitu al-Munqid min ad-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan) berisi sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta berisikan jalan untuk mencapai Tuhan. Penulis-penulis modern banyak yang mengikuti jejak al-Ghazali dalam menuliskan autobiografinya.

Ibnu al-‘Ibri dan Raymond Martin banyak mengambil pikiran-pikiran al-Ghazali untuk menguatkan pendiriannya. Demikian pula Pascal (Perancis 1623-1662) dan filosof-filosof barat lainnya, sebagaimana yang diakui oleh Asin-Palacois, bahwa banyak ditemukan persamaan antara filosof-filosof barat dengan al-Ghazali dalam pendiriannya, yaitu bahwa pengetahuan-pengetahuan agama tidak bisa diperoleh dari akal pikiran, melainkan harus berdasarkan hati dan rasa.

Thomas Aquinas (Italia, 1226-1274) yang dengan pedasnya menyerang al-Ghazali, namun ketika menguraikan penglihatan (ru’yat) manusia terhadap Tuhan di akhirat, uraiannya sama dengan uraian al-Ghazali. Demikian halnya Dante (Italia, 1265-1321 M.) dalam menulis bukunya, Devina Commidia (Komedi Ketuhanan) banyak mengambil tulisan al-Ghazali tentang mi’raj.

Para orientalis banyak yang menulis buku tentang al-Ghazali, antara lain Carra De Vaux, J. Wersink, Obermenn, dan Zwemmer. Bahkan Zwemmer, ahli ketimuran Inggris telah memasukkan al-Ghazali menjadi salah seorang dari empat orang pilihan dari pihak Islam yang dimulai zaman Rasulullah hingga abad XX M. yaitu: 1) Nabi Muhammad Saw., 2) Imam al-Bukhari, 3) Imam al-Asy’ari, 4) Imam al-Ghazali.

Di samping para penulis barat tersebut juga ada beberapa yang menterjemahkan beberapa karangan al-Ghazali yang terkenal ke dalam berbagai bahasa Eropa, yaitu seperti:

  1. Carra De Vaux, menterjemahkan buku Tahafut al Falasifah.
  2. De Boer dan Asin Palacois masing-masing menterjemahkan beberapa bagian dari buku Tahafut al Falasifah.
  3. H. Bauer, menterjemahkan Qawaid al ‘Aqaid, dalam bukunya Die Dogmatik al-Ghazali’s.
  4. Barbier de Minard, menterjemahkan al-Munqidz min ad-Dhalal.
  5. W.H.T. Craidner, London, menterjemahkan buku Misykat al-Anwar.
  6. D.B. Mac Donald, menterjemahkan beberapa pasal dari Ihya ‘Ulum ad-Din.

Karangan al-Ghazali, di samping ada teman-teman yang sepaham dengan pemikiran-pemikirannya, ada pula yang menentang akan pendiriannya. Adapun yang sepaham adalah Renan Cassanova, Carro De Vaux, dan lain-lain. Sedangkan yang menentang adalah Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan lain-lain dari kalangan fuqaha.

Adanya penyerangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf (Ibnu Rusyd) adalah disebabkan oleh sikap al-Ghazali yang menentang para filosof Islam karena al-Ghazali mengkafirkan mereka dalam tiga hal yaitu; 1) pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani, 2) membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja, dan 3) adanya kepercayaan tentang qadimnya alam dan keazaliannya. Penyerangan ini sebagaimana termuat dalam kitabnya yang terkenal yaitu Tahafut al-Falasifah dan al-Munqidz min ad-Dhalal.

Akan tetapi dalam bukunya yang lain, yaitu Mizan al-‘Amal, dikatakan bahwa ketiga persoalan tersebut menjadi kepercayaan orang-orang tasawuf juga. Juga dalam bukunya al-Madhnun ‘ala Ghairi Ahlihi, ia mengakui qadimnya alam. Kemudian dalam al-Munqidz min ad-Dhalal ia menyatakan bahwa kepercayaan yang dipeluknya ialah kepercayaan orang-orang tasawuf.

Dalam Mi’raj as-Salikin ia menentang orang-orang tasawuf yang mengatakan adanya kebangkitan rohani saja. Dengan demikian, al-Ghazali juga menentang kepercayaan dalam 3 hal tersebut dalam beberapa bukunya, akan tetapi dia juga mempercayainya sebagaimana disebutkan dalam buku-bukunya yang lain.

Dalam hal ini ada beberapa ahli yang menafsirkan sikap dan pendirian al-Ghazali tersebut. Tafsiran para pembahas di sini berbeda-beda. Menurut lbnu Tufail, perlawanan tersebut memang suatu kontradiksi yang benar-benar dari hasil pemikiran al-Ghazali. Menurut Ibnu Shalah, karena al-Ghazali dan aliran Ahlussunnah, maka pikiran-pikiran dan buku-bukunya yang berlawanan dengan aliran ini dianggap bukan dari al-Ghazali, seperti buku al-Madhnun ‘ala Ghairi Ahlihi.

Menurut Dr. Zaki Mubarrak dalam bukunya al-Akhlaqin al-Ghazali, perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena perkembangan pemikiran al-Ghazali, mulai dari seorang murid biasa, kemudian menjadi murid yang cemerlang namanya, meningkat menjadi guru yang tenar. Akhirnya menjadi seorang kritikus yang kuat dan menguasai serta mampu menyingkap bermacam-macam pendapat, kemudian menjadi pengarang besar yang membanjiri dunia dengan pembahasan-pembahasan dan buku-bukunya.

Namun demikian Dr. Sulaiman Dunia, mempunyai tafsiran lain. Ia mengatakan bahwa buku-buku al-Ghazali ada yang ditujukan kepada orang biasa (awam) dan ada pula yang khusus ditujukan kepada orang-orang tertentu sekali, dan oleh karena itu sudah barang tentu isinya tidak akan sama.

Dengan demikian karya-karya al-Ghazali tidak dikonsumsikan kepada masyarakat secara umum, tetapi ada klasifikasinya. Ada yang diperuntukkan kepada orang-orang ahli tasawuf dan ada pula kepada pecinta etika. Oleh karena itu karya-karya al-Ghazali ada yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Sebagaimana dalam Tahafut al-Falasifah, ia bertindak selaku seorang muslim yang berhadapan dengan filosof-filosof pada umumnya dan filosof-filosof Islam pada khususnya. Dalam hal ini aliran-aliran Mu’tazilah, Karramiah, Waqifiah dan lain-lain, merupakan front Islam yang diikutsertakan oleh al-Ghazali dalam menghadapi filsafat. Karena menurut ia, perbedaan pendapat antara golongan-golongan tersebut hanya dalam soal-soal yang kecil, sedang perbedaannya dengan filsafat menyangkut pokok-pokok ajaran agama.

Demikian juga dalam bukunya yang lain Mizan al-‘Amal, pendapatnya kadang-kadang sesuai dengan golongan aliran Asy’ariyah atau aliran ilmu kalam lainnya. Akan tetapi dalam buku-bukunya yang lain, seperti al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan Qawaid al-‘Aqaid ia menentang aliran Mu’tazillah, bahkan ia menyerang ilmu kalam sendiri sebagaimana dalam bukunya al-Munqidz min adh-Dhalal.

Di bawah ini adalah beberapa karya Imam al-Ghazali, di antaranya:

  1. Ihya’ ‘Ulum ad-Din
  2. Al-Adab fi ad-Din,
  3. Al-Arba’in fi Ushul ad-Din
  4. Asas al-Qiyas
  5. Al-Istidraj
  6. Asrar Mu’amalat ad-Din
  7. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad
  8. Iljam al-’Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam
  9. Al-Imla’ ‘ala Musykil al-Ihya’
  10. Ayyuha al-Walad
  11. Al-Bab al-Muntahal fi ‘Ilm al-Jidal
  12. Bidayah al-Hidayah
  13. Al-Basith fi al-Furu’
  14. Ghayah al-Ghawr fi Dirayah ad-Dawr
  15. At-Ta’wilat
  16. At-Tibr al-Masbuk fi Nasha’ih al-Muluk
  17. Tahshin al-Ma’akhid
  18. Talbis Iblis
  19. At-Ta’liqah fi Furu’ al-Madzhab
  20. At-Tafriqah bayna al-Islam wa az-Zandaqah
  21. Tafsir al-Qur’an al-’Adzim
  22. Tahafut al-Falasifah
  23. Tahdzib al-Ushul
  24. Jawab al-Ghazali ‘an Da’wah Mu’ayyid al-Malik lahu li Mu’awwadah at-Tadris bi an-Nizhamiyyah fi Baghdad
  25. Al-Jawahir al-La’ali’ fi Mutsallats al-Ghazali
  26. Jawahir al-Qur’an wa Duraruhu
  27. Hujjah al-Haqq
  28. Haqiqah al-Quran
  29. Haqiqah al-Qawlayn
  30. Al-Hikmah fi Makhluqatillah ‘Azza wa Jalla
  31. Khulashah al-Mukhtashar wa Naqawah al-Mu’tashir
  32. Ad-Durj al-Marqum bi al-Jadawil
  33. Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf ’Ulum al-Akhirah
  34. Ar-Risalah al-Wa’zhiyyah
  35. Zad Akhirat
  36. Sirr al-’Alamayn wa Kasyf Ma fi ad-Darayn
  37. Syifa al-Ghalil fi al-Qiyas wa at-Ta’lil
  38. Fayshal at-Tafriqah bayna al-Islam wa az-Zandaqah
  39. Qawashim al-Bathiniyyah
  40. Al-Kasyf wa at-Tabyin fi Ghurur al-Khalq Ajma’in
  41. Kimiya’ as-Sa’adah
  42. Lubab an-Nazhar
  43. Mahk an-Nazhar fi al-Fiqh
  44. Al-Mushtashfa fi ‘Ilm al-Ushul
  45. Al-Mustazhhar fi ar-Radd ‘ala al-Bathiniyyah
  46. Al-Maqshad al-Asna fi Syarh Asma’ Allah al-Husna
  47. Al-Munqidz min adh-Dhalal
  48. Al-Wajiz
  49. Al-Wasith

Al-Ghazali lebih dikenal sebagai seorang yang telah melakukan “pembangunan agama” Islam daripada sebutan seorang filosof. Di dalam sejarah filsafat al-Ghazali dikenal sebagai orang yang semula syak (ragu) terhadap segala-galanya. Perasaan syak tersebut timbul setelah ia belajar teologi (ilmu kalam) dari Imam al-Haromain, sebab di dalam ilmu tersebut al-Ghazali melihat adanya aliran-aliran yang saling bertentangan.

Upaya para filosof untuk mencari argumen tentang kebenaran oleh al-Ghazali dipandang tidak kuat, bahkan ia menurut keyakinannya ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Walaupun al-Ghazali sudah berusaha secara maksimal, namun di dalam mencari kebenaran ia sendiri mengajukan argumen-argumen yang tidak kuat. Namun akhirnya dalam tasawuflah al-Ghazali menemukan apa yang dicarinya, dengan gerakan tasawuf ini dia memperoleh hakikat kebenaran yang diselidiki selama ini.

Melalui tasawuf inilah al-Ghazali merasa pikirannya menjadi jernih dan merasa mendapatkan pengetahuan ajaib yang belum pernah dialami sebelumnya. Tasawuflah yang sanggup memusnahkan rasa ragu-ragu dan dengan tasawuf ia memperoleh keyakinan.

Timbullah pertanyaan, bagaimana corak tasawufnya. Tasawuf dengan sikapnya yang negatif dan asing semangat jiwa Islam, sebagaimana yang terlihat pada aliran-aliran tasawuf ekstrim, telah menimbulkan reaksi dan kemarahan aliran Islam Sunni. Maka datanglah al-Ghazali untuk memasukkan tasawuf dalam pangkuan Islam Sunni. Ia memasuki kehidupan tasawuf, tetapi ia tidak melibatkan diri dalam aliran tasawuf hulul (inkarnasi) atau tasawuf wihdat al-wujud (pantheisme), dan buku-buku yang dikarangnya juga tidak pula keluar dari jalan (sunnah) Islam yang benar.

Memang sebenarnya sukar untuk menyebutkan sikap al-Ghazali tersebut dengan tasawuf, dan boleh jadi nama yang tepat ialah subyektivismus (kepribadian), sebagaimana yang disebutkan oleh J. Obenmann, dalam bukunya Der Philisophische and Religioese Subjectivismus Ghazalis (Kepribadian Filsafat dan Agama pada al-Ghazali). Pengetahuan yang dirniliki oleh al-Ghazali didasarkan atas rasa yang memancar dari dalam hati, bagaimana sumber air jernih, bukan dan hasil penyelidikan akal, tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam.

Al-Ghazali dengan tegas menentang orang-orang tasawuf yang meremehkan upacara-upacara agama (syariat). Sebaliknya ia menganggap upacara tersebut sebagai suatu kewajiban yang harus dijalankan untuk mencapai kesempurnaan. Menjalankan upacara-upacara itu tidak hanya cukup dengan pekerjaan-pekerjaan lahiriah, melainkan dengan penuh pengertian akan makna-makna dan rahasianya yang tidak didapati dalam buku-buku fiqh. Segala pendapatnya tentang tasawuf itu yang dianggap sesuai dengan hakikat Islam beliau uraikan dalam karangannya yang termasyhur Ihya ‘Ulum ad-Din.

Setelah mengalami keempat macam aliran itu, akhimya beliau kembali lagi ke masyarakat, tetapi dengan pendirian berlaku semata-mata karena lillahi ta’ala.

Pada zamannya itu, beliau dianggap telah berhasil membela kemurnian agama Islam dari dua karangan yang hebat pada waktu itu, yaitu:

  1. Serangan dari dunia filsafat yang telah menjadikan ilmu tentang ketuhanan berupa pengetahuan yang semata-mata, sehingga memberikan gambaran tentang Tuhan yang membingungkan.
  2. Serangan dari dunia tasawuf (mistik) dan kebatinan yang keterlaluan dan membahayakan amal syariat Islam; terhadap ini beliau memberikan tuntunan yang sesuai dengan syariat agama Islam. Di dalam tasawuf al-Ghazali tampak jelas sekali faktor pemikiran di samping faktor perasaan; sesuai dengan tuntunan ayat-ayat al-Quran tentang pentingnya faktor akal.

Seterusnya al-Ghazali berkata terhadap orang-orang yang mengambil kesimpulan-kesimpulan yang keliru dari hasil penyelidikannya, sehingga Tuhan dianggapnya tidak ada dan dunia yang penuh dengan berbagai keajaiban ini dianggap terjadi demikian kekal sejak zaman dulu, bahwa orang-orang yang berpikir sedemikian adalah lebih jauh melebihi batas kesalahan yang diperbuatnya dan tak ada gunanya lagi bertukar pikiran denga0n mereka. Mereka itu adalah seperti orang-orang yang melihat tulisan yang indah-indah, dikiranya tulisan-tulisan itu terjadi dengan sendirinya dengan tidak ada yang menulisnya atau sudah demikian terjadi.

Sebagaimana telah dijabarkan di atas, al-Ghazali dengan sangat mendalam sekali menyelami baik filsafat maupun agama dengan maksud yang utama menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama Islam dan memperlihatkan keutamaan dan kelebihan agama Islam atas agama-agama lain di dunia. Karangan-karangan beliau begitu banyak, di antaranya yang paling terkenal dan terpenting buku yang berjudul Ihya ‘Ulum ad-Din. Buku ini tebalnya 2000 halaman dan terdiri dari empat jilid dan tiap-tiap jilid terdiri dari 10 bab. Di dalam buku ini beliau mengupas seluas-luasnya tentang ilmu filsafat, akhlak dan agama.

  • Perkembangan Pemikiran Pandangan Metafisikanya

Di dalam pemikiran filsafat al-Ghazali terdapat empat unsur pemikiran filsafat yang mempengaruhi. Keempat unsur tersebut sebenamya merupakan hal-hal yang ditentang oleh Al-Ghazali, yaitu 1) Unsur pemikiran kaum mutakallimin, 2) Unsur pemikiran kaum filsafat, 3) Unsur kepercayaan kaum batiniah, dan 4) Unsur kepercayaan kaum sufi.

Menurut al-Ghazali terdapat beberapa buah pemikiran filosof yang dipandang tersebut antara lain: Tuhan tidak mempunyai sifat; Tuhan mempunyai substansi dan tidak mernpunyai hakikat; Tuhan tidak dapat diberi sifat; planet-planet adalah bintang yang bergerak dengan kemauan; hukum alam tidak dapat berubah; dan jiwa planet-planet mengetahui semua.

Di samping itu al-Ghazali juga telah berpolemik terhadap filsafat pada umumnya yang tertuang di dalam bukunya berjudul Tahafut al-Falasifah. Di dalam buku tersebut secara umum al-Ghazali menyerang pendapat-pendapat filsafat Yunani dan filsafat Ibnu Sina yang meliputi dua puluh rnasalah antara lain:

  1. Al-Ghazali rnenyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Di sini al-Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.
  2. Al-Ghazali rnenyerang pendapat kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat bahwa soal keabadian alam itu terserah kepada Tuhan semata-mata. Mungkin saja alam itu terus-menerus tanpa akhir andakaikata Tuhan menghendakinya. Akan tetapi bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri di luar iradat (kehendak) Tuhan.
  3. Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil-kecil (juz’iyat).
  4. Al-Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum itu. Bagi al-Ghazali segala peristiwa yang serupa dengan hukum sebab akibat itu hanyalah kebiasaan (‘adat) semata-mata, dan bukan hukum kepastian. Dalam hal ini jelas al-Ghazali menyokong pendapat ijraul-’adat dari al-Asy’ari.

Tiga pikiran filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan yang oleh karenanya para filosof harus dinyatakan sebagai orang atheis ialah: 1) qadimnya alam; 2) tidak mengetahuinya Tuhan terhadap soal-soal peristiwa kecil; dan 3) pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.

  • Pandangan Tentang Etika

Al-Ghazali juga membahas tentang etika yang dapat diihat pada ajaran tasawufnya. Menurut al-Ghazali orang sufi benar-benar berada di atas jalan yang benar, berakhlak yang baik dan berpengetahuan yang benar.

Mengenai tujuan pokok etika al-Ghazali dapat kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal, al-takhalluq bi takhalluq bi akhlaqillahi ‘ala thaqatil basyariyah, atau pada semboyannya yang lain, al-isyafu bi-shifatirrahman ‘ala thaqalil basyariyah.

Maksud sernboyan itu adalah agar manusia sejauh kesanggupan meniru perangai dari sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama, dan sebagainya.

Dalarn Ihya ‘Ulum ad-Din al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadah dan tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal at-thaharah ia tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang salat, puasa dan haji, kita dapat menyimpulkan bahwa bagi al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan pembersihan rohani.

Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya (taqarrub) terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam, al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini ia sama sekali tidak cocok dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya rnenunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.

Al-Ghazali, sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan. Bagaimana cara bertaqarrub kepada Allah? Al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan yang langsung mempengaruhi rohani. Di antaranya yang terpenting ialah al-muraqabah, yakni mereka diawasi terus oleh Tuhan, dan al-muhasabah, yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri.

Menurut al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan yaitu kepuasan dan kebahagiaan (lazzat dan sa’adah). Kepuasan ialah apabila kita rnengetahui kebenaran sesuatu. Bertambah banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang yang merasakan kebahagiaan.

Akhimya kebahagiaan yang tertinggi itu ialah bila mengetahui kebenaran sumber dan segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakannya ma’nifatullah, yaitu mengenal adanya Allah tanpa syak sedikit pun, dengan penyaksian hati, yang sangat yakin (musyahadatul qalb). Apabila sampai kepada penyaksian itu, maka manusia akan merasakan suatu kebahagiaan yang begitu memuaskan sehingga sukar untuk dilukiskan.

Al-Ghazali menyatakan dengan terus terang bahwa ia telah beberapa kali mengalami sendiri penyaksian itu.

Kebesaran al-Ghazali

Al-Ghazali dipandang sebagai ahli pikir Islam yang mampu meninggalkan pengaruh yang besar dan memunculkan ide baru dalam Islam. Al-Ghazali hidup pada masa para ulama fikih serta ilmu kalam mengajarkan kepada masyarakat upacara-upacara lahiriah belaka. Sedangkan para ahli filsafat Islam dan tasawuf tidak dapat melepaskan diri dari pertalian mereka dengan syiah batini. Dalam keadaan seperti ini, al-Ghazali muncul dengan pemikiran kefilsafatan dan pemahaman agama tanpa mengikuti aliran atau mazhab tertentu.

Ia sendiri hidup dalam masa, di mana jiwa keislaman yang sebenamya sudah merosot sedemikian rupa, dan keimanan akan pokok kenabian dan hakikatnya, serta mengamalkan ajaran-ajarannya sudah mengalami kekendoran. Krisis agama sudah menimpa orang banyak dan mereka hampir-hampir binasa, sedang dokter pengobatnya tidak ada. Maka keperluan akan pembaharuan agama mendesak sekali yaitu yang dapat memberikan nilai-nilai rohaniah serta moral terhadap perbuatan-perbuatan lahir. Pembaharu tersebut tidak lain adalah al-Ghazali.

Ulama kalam sebelum al-Ghazali telah memerangi filsafat, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat menggoyahkan filsafat dan dasarnya sama sekali dengan menggunakan metode yang teratur dan rapi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh al-Ghazali. Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, ia telah menguji setiap pikiran filsafat dan menunjukkan kelemahannya. Meskipun memerangi filsafat, namun ia tetap seorang filosof yang kadang-kadang menjelaskan kepercayaan Islam bendasarkan teori-teori Platonisme. Ia juga mengikuti pikiran-pikiran al-Farabi dan Ibnu Sina tentang kejiwaan, sebagaimana ia tetap setia kepada logika Aristoteles, dan selalu mengemukakan dalil-dalil pikiran di samping dalil-dalil Syara’, bahkan sampai dalam soal-soal kepercayaan. Meskipun ia selalu berbeda dengan filosof-filosof, namun perbedaan itu kadang-kadang dalam istilah dan pikiran tertentu, yang boleh jadi dalam bukunya yang lain dipertahankannya.

Al-Ghazali juga menentang ilmu kalam dan ulama kalam, namun ia tetap menjadi seorang tokoh kalam. Tantangannya hanya ditujukan kepada tingkah laku mereka dan kejauhan hati mereka dari agama yang dipertahankan oleh mereka dengan mulut.

Al-Ghazali juga mengambil jalan tasawuf, tetapi membebaskan tasawuf dari setiap tindakan yang dapat menjauhkannya dari Islam, seperti pikiran hulul (Tuhan bertempat pada manusia), ittihad (menunggalnya manusia dengan Tuhan), dan wihdat al-wujud (kesatuan wujud-wujud itu hanya satu, yaitu Tuhan). Al-Ghazali juga dengan jelas menentang pikiran tasawuf yang mengatakan bahwa seorang tasawuf apabila telah mencapai tingkatan ma’rifat, tidak lagi mengenal batas larangan dan sudah menjadi bebas dari ikatan-ikatan syara’.

Dalam setiap langkahnya, baik berhadapan dengan filosof atau dengan ulama kalam atau orang-orang tasawuf, ia hanya rnempunyai tujuan sama, yaitu menghidupkan semangat baru bagi Islam.

About HSR

biasa aja
This entry was posted in Pengetahuan Umum and tagged , . Bookmark the permalink.

2 Responses to Wajah Islam Dalam Diri Imam al-Ghozali

  1. Atho says:

    Ada salah satu karya beliau yg tidak tertera di atas, yaitu Nashihatul-Muluuk (Nasihat bagi Raja2) yang sudah diterjemahkan kedalam bah. Inggris dgn judul “Counsel for Kings” oleh J. Bagley, dari Oxford University. Buku (terjemahan) itu ada di tangan saya.

    • HSR says:

      wah, menarik kayaknya buku itu, coba saya cari versi aslinya, buat tambahan bacaan…
      makasih sudah mampir gan…

Leave a reply to HSR Cancel reply